Salah satu
tahapan persiapan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (baca: Pilkada)
adalah pembentukan badan penyelenggara ad-hoc, yang meliputi PPK, PPS, dan KPPS.
Sesuai Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan Program dan Jadwal
Penyelenggaraan Pilkada, pembentukan badan ad-hoc dilaksanakan antara tanggal
19 April sampai dengan 18 Mei 2015.
Pembentukan
badan ad-hoc menjadi salah satu titik awal yang penting dan krusial bagi
pelaksanaan Pilkada. Disebut penting karena dari penyelenggara ad-hoc itulah
hasil Pilkada dipertaruhkan. Jika penyelenggara ad-hoc diisi personil yang
profesional dan berintegritas, hasil Pilkada dapat dipertanggungjawabkan. Oleh
karena itu, penyelenggara ad-hoc adalah ujung tombak pahlawan demokrasi.
Disebut
krusial karena rekrutmen badan ad-hoc rentan dipengaruhi kepentingan politik.
Beda dengan rekrutmen PPK yang melewati proses seleksi, rekrutmen PPS dan KPPS
hanya penunjukkan. Pasal 19 (ayat 2) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota: “Anggota PPS diangkat oleh KPU
Kabupaten/Kota atas usul bersama Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan Badan
Permusyawaratan Desa atau sebutan lain/Dewan Kelurahan."
Dalam
prakteknya, Kepala Desa/Lurah dan BPD hanya mengusulkan nama-nama yang “dekat”
dengan mereka. Tak jarang, makna “dekat” di sini bukan hanya dalam artian
personal, tapi juga dalam artian politis, yakni memiliki pandangan politik yang
sama dengan Kades. Akhirnya, KPU Kabupaten tidak punya banyak pilihan terhadap
nama-nama yang diusulkan oleh Kades.
Sedang
Pasal 21 (ayat 2) UU Nomor 8 tahun 2015: “Anggota KPPS diangkat dan
diberhentikan oleh PPS atas nama Ketua KPU Kabupaten/Kota.” Dalam prakteknya,
PPS berkoordinasi dengan Dukuh/sebutan lain, untuk memberi masukan nama-nama
calon KPPS. Biasanya Dukuh hanya mengusulkan nama-nama yang dekat dengan mereka
atau yang sudah terbiasa menjadi KPPS sebelumnya.
Memang
tidak semua Kades dan Dukuh berpikiran pragmatis seperti itu. Tapi regulasi ini
mengandung kelemahan. Pertama, menghambat regenerasi penyelenggara Pemilu di
tingkat bawah. Dalam arti, warga yang punya keinginan dan potensi, tapi tidak
dekat dengan Kades dan Dukuh, sulit mendapat akses untuk menjadi PPS
maupun KPPS.
Kedua, bisa
menjadi celah bagi masuknya kepentingan politik. Tidak dipungkiri lagi, posisi
Kades amat dekat dengan politik praktis. Pada Pileg 2014 kemarin, fakta
menunjukkan sangat banyak Kades yang maju menjadi calon legislatif (Caleg).
Meski saat menjadi Caleg ia sudah mengundurkan diri, tapi jaringan sebagai
tokoh sentral di desa tidak bisa serta-merta diputus begitu saja. Dan jaringan
tersebut bisa digunakan sebagai penyelenggara ad-hoc.
Untuk
mengantisipasi kelemahan pertama, KPU lewat Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2015
tentang Tata Kerja KPU Provinsi, KPU Kabupaten, PPK, PPS dan KPPS, pasal
18 (ayat1, huruf k), menyebutkan salah satu syarat menjadi PPK, PPS dan KPPS :
“Belum pernah menjabat 2 (dua) kali sebagai anggota PPK, PPS, dan KPPS”.
Dilihat
dari aspek terjaminnya regenerasi penyelenggara ad-hoc, pasal ini sangat bagus.
Tapi yang perlu diantisipasi adalah jika tidak ada yang minat menjadi PPS dan
KPPS. Sebab berkiprah sebagai PPS dan KPPS selama ini identik dengan
pengabdian. Dan pengabdian itu telah ditunjukkan oleh mereka yang sudah
berkali-kali menjadi PPS dan KPPS.
Mestinya,
pasal regenerasi itu tidak digeneralisir untuk semua badan ad-hoc. Harus
bertahap. Jadi, aturan “belum pernah menjabat 2 (dua) kali” idealnya hanya
untuk PPK dulu. Sebab, selain cakupan sumber daya manusia di tingkat kecamatan
lebih banyak dan luas, regenerasi PPK selama memang lebih dinamis daripada PPS
dan KPPS.
Lewat pasal
37 (ayat 7), bahwa KPU Kabupaten berkoordinasi dengan organisasi
kemasyarakatan/profesi jika yang diajukan Kades dan BPD tidak ada yang memenuhi
syarat, KPU agaknya hendak memberi solusi jika potensi PPS dan KPPS terganjal
syarat “belum pernah menjabat 2 (dua) kali”. Tapi hemat saya itu tidak cukup,
sebab mereka yang selama ini menjadi PPS dan KPPS notabene tokoh masyarakat,
biasanya mereka juga telah menjadi bagian organisasi kemasyarakatan/profesi.
Sementara
untuk kelemahan kedua, agaknya KPU belum mengantisipasi. Hemat saya, solusi
yang bisa ditempuh adalah perlu dibuka akses pendaftaran bagi calon PPS.
Pedaftaran itu tidak untuk dilakukan ujian (tes), tapi hanya untuk
mendapatkan nama-nama yang-karena alasan kedekatan personal maupun politis-tidak
diakomodir oleh Kades/BPD (untuk calon PPS) dan yang tidak diakomodir oleh
Dukuh (untuk calon KPPS).
Dengan
dibukanya akses pendafatran bagi calon PPS, diharapkan Kades akan mengakomodir
lebih banyak lagi potensi warga negara yang punya keinginan dan potensi menjadi
PPS. Di sisi lain, KPU Kabupaten/Kota juga akan lebih leluasa untuk menentukan
pilihan terkait nama-nama yang akan diangkat sebagai anggota PPS.
*Marwanto, S.Sos - Anggota KPU Kabupaten Kulon Progo*
*tulisan ini dimuat di harian Bernas Jogja dan www.rumahpemilu.org pada 27 April 2015*
*Marwanto, S.Sos - Anggota KPU Kabupaten Kulon Progo*
*tulisan ini dimuat di harian Bernas Jogja dan www.rumahpemilu.org pada 27 April 2015*