.::. Selamat datang Di Official Website Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kulon Progo .::. www.kpu-kulonprogokab.go.id .::. Jl.Wakhid Hasyim, Bendungan, Wates, Kulon Progo Telp.( 0274)774433, Fax.(0274 774433 Email:kulonprogo@kpud-diyprov.go.id .::. UU No 8 Thn 2015 tentang Perubahan Atas (UU No 1 Thn 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Thn 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang).::.

Selasa, 16 Juni 2015

Marwanto : Regenerasi Badan Ad-Hoc Pemilu

Salah satu tahapan persiapan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (baca: Pilkada) adalah pembentukan badan penyelenggara ad-hoc, yang meliputi PPK, PPS, dan KPPS. Sesuai Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada, pembentukan badan ad-hoc dilaksanakan antara tanggal 19 April sampai dengan 18 Mei 2015.

Pembentukan badan ad-hoc menjadi salah satu titik awal yang penting dan krusial bagi pelaksanaan Pilkada. Disebut penting karena dari penyelenggara ad-hoc itulah hasil Pilkada dipertaruhkan. Jika penyelenggara ad-hoc diisi personil yang profesional dan berintegritas, hasil Pilkada dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, penyelenggara ad-hoc adalah ujung tombak pahlawan demokrasi.


Disebut krusial karena rekrutmen badan ad-hoc rentan dipengaruhi kepentingan politik. Beda dengan rekrutmen PPK yang melewati proses seleksi, rekrutmen PPS dan KPPS hanya  penunjukkan. Pasal 19 (ayat 2) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang  Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota: “Anggota PPS diangkat oleh KPU Kabupaten/Kota atas usul bersama Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain/Dewan Kelurahan."

Dalam prakteknya, Kepala Desa/Lurah dan BPD hanya mengusulkan nama-nama yang “dekat” dengan mereka. Tak jarang, makna “dekat” di sini bukan hanya dalam artian personal, tapi juga dalam artian politis, yakni memiliki pandangan politik yang sama dengan Kades. Akhirnya, KPU Kabupaten tidak punya banyak pilihan terhadap nama-nama yang diusulkan oleh Kades.

Sedang Pasal 21 (ayat 2) UU Nomor 8 tahun 2015: “Anggota KPPS diangkat dan diberhentikan oleh PPS atas nama Ketua KPU Kabupaten/Kota.” Dalam prakteknya, PPS berkoordinasi dengan Dukuh/sebutan lain, untuk memberi masukan nama-nama calon KPPS. Biasanya Dukuh hanya mengusulkan nama-nama yang dekat dengan mereka atau yang sudah terbiasa menjadi KPPS sebelumnya.

Memang tidak semua Kades dan Dukuh berpikiran pragmatis seperti itu. Tapi regulasi ini mengandung kelemahan. Pertama, menghambat regenerasi penyelenggara Pemilu di tingkat bawah. Dalam arti, warga yang punya keinginan dan potensi, tapi tidak dekat dengan Kades dan Dukuh, sulit mendapat akses untuk menjadi  PPS maupun KPPS.

Kedua, bisa menjadi celah bagi masuknya kepentingan politik. Tidak dipungkiri lagi, posisi Kades amat dekat dengan politik praktis. Pada Pileg 2014 kemarin, fakta menunjukkan sangat banyak Kades yang maju menjadi calon legislatif (Caleg). Meski saat menjadi Caleg ia sudah mengundurkan diri, tapi jaringan sebagai tokoh sentral di desa tidak bisa serta-merta diputus begitu saja. Dan jaringan tersebut bisa digunakan sebagai penyelenggara ad-hoc.

Untuk mengantisipasi kelemahan pertama, KPU lewat Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2015 tentang Tata Kerja KPU Provinsi, KPU Kabupaten, PPK, PPS dan KPPS, pasal  18 (ayat1, huruf k), menyebutkan salah satu syarat menjadi PPK, PPS dan KPPS : “Belum pernah menjabat 2 (dua) kali sebagai anggota PPK, PPS, dan KPPS”. 

Dilihat dari aspek terjaminnya regenerasi penyelenggara ad-hoc, pasal ini sangat bagus. Tapi yang perlu diantisipasi adalah jika tidak ada yang minat menjadi PPS dan KPPS. Sebab berkiprah sebagai PPS dan KPPS selama ini identik dengan pengabdian. Dan pengabdian itu telah ditunjukkan oleh mereka yang sudah berkali-kali menjadi PPS dan KPPS.

Mestinya, pasal regenerasi itu tidak digeneralisir untuk semua badan ad-hoc. Harus bertahap. Jadi, aturan “belum pernah menjabat 2 (dua) kali” idealnya hanya untuk PPK dulu. Sebab, selain cakupan sumber daya manusia di tingkat kecamatan lebih banyak dan luas, regenerasi PPK selama memang lebih dinamis daripada PPS dan KPPS.

Lewat pasal 37 (ayat 7), bahwa KPU Kabupaten berkoordinasi dengan organisasi kemasyarakatan/profesi jika yang diajukan Kades dan BPD tidak ada yang memenuhi syarat, KPU agaknya hendak memberi solusi jika potensi PPS dan KPPS terganjal syarat “belum pernah menjabat 2 (dua) kali”. Tapi hemat saya itu tidak cukup, sebab mereka yang selama ini menjadi PPS dan KPPS notabene tokoh masyarakat, biasanya mereka juga telah menjadi bagian organisasi kemasyarakatan/profesi.

Sementara untuk kelemahan kedua, agaknya KPU belum mengantisipasi. Hemat saya, solusi yang bisa ditempuh adalah perlu dibuka akses pendaftaran bagi calon PPS. Pedaftaran itu tidak untuk dilakukan ujian (tes), tapi  hanya untuk mendapatkan nama-nama yang-karena alasan kedekatan personal maupun politis-tidak diakomodir oleh Kades/BPD (untuk calon PPS) dan yang tidak diakomodir oleh Dukuh (untuk calon KPPS).


Dengan dibukanya akses pendafatran bagi calon PPS, diharapkan Kades akan mengakomodir lebih banyak lagi potensi warga negara yang punya keinginan dan potensi menjadi PPS. Di sisi lain, KPU Kabupaten/Kota juga akan lebih leluasa untuk menentukan pilihan terkait nama-nama yang akan diangkat sebagai anggota PPS. 




*Marwanto, S.Sos - Anggota KPU Kabupaten Kulon Progo*
*tulisan ini dimuat di harian Bernas Jogja dan www.rumahpemilu.org pada 27 April 2015*