Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung di Indonesia selalu dilakukan dengan tergesa
dan persiapan serba mepet. Dua regulasi yang menjadi dasar penyelenggaraan
Pilkada gelombang pertama (2005-2008) disahkan dalam kondisi kritis.
Pertama, UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, baru ditandatangani Megawati tanggal 15
Oktober, lima hari menjelang berakhirnya jabatan beliau sebagai Presiden RI
ke-5. Lalu, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah
ditandatangani Menkumham Hamid Awaludin pada 11 Februari 2005. Padahal empat
bulan setelah itu, Juni 2005, di beberapa daerah sudah harus melaksanakan
pemungutan suara.
Sepuluh tahun kemudian, hal
tersebut terulang lagi. Pada September 2014 DPR mengesahkan UU Nomor 22 Tahun
2014 tentang Pilkada Tidak Langsung. Kemudian di akhir masa jabatannya Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada
Langsung. Setelah Perpu No 1 Tahun 2014 disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015,
mengingat materi di dalamnya masih banyak kelemahan, maka direvisi dan
menghasilkan UU Nomor 8 Tahun 2015, yang menjadi dasar pelaksanaan Pilkada
sekarang.
Demokrasi lokal kita terbiasa bekerja dalam irama yang
tergesa. Hal ini karena regulasi yang menajdi dasar pelaksanaan dibuat melalui bargaining politik
dan baru mencapai kesepakatan di detik-detik akhir. Imbas dari ini semua adalah
pertaruhan terhadap kualitas demokrasi lokal itu sendiri. Kualitas di sini
mesti dilhat dari dua aspek, yakni kualitas proses dan kualitas hasil.
Pertama, kualitas proses,
terkait dengan seluruh pelaksanaan tahapan Pilkada. Alokasi waktu di setiap
tahapan sudah dihitung secara rigid oleh
KPU. Namun kini, karena ada dua kepengurusan Parpol yang sedang berkonflik,
ketika KPU sudah menetapkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan,
Program dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, masih ada wacana tentang revisi UU Pilkada
maupun UU Partai Politik.
Padahal, ketika KPU sudah menetapkan tahapan, program dan
jadwal Pilkada, semestinya semua stake-holder (baik KPU, Parpol, maupun masyarakat),
sudah harus fokus untuk melaksanakan apa yang ditetapkan KPU. Bagi KPU dan KPU
di daerah, menyiapkan sebaik mungkin penyelenggaraan Pilkada. Bagi parpol,
menyiapkan calon terbaiknya untuk mengikuti kontestasi. Bagi masyarakat, mulai
mengamati tokoh yang akan maju sebagai calon.
Namun dengan wacana revisi dua regulasi tersebut, maka
fokus tersebut bisa terganggu, sehingga peran masing-masing stake-holder menjadi kurang maksimal. Bayangkan, ketika
di saat ini parpol sudah harus konsentrasi melakukan rekrutmen bakal calon
Pilkada, tapi di sisi lain masih harus memikirkan kemungkinan perubahan
regulasi yang otomatis memengaruhi peta rekrutmen yang dilakukan oleh Parpol.
Kedua, kualitas hasil,
terkait dengan output Pilkada, yakni terpilihnya kepala
daerah yang berkualitas, berkompeten, dan diterima masyarakat untuk memajukan
daerahnya. Jika Pilkada dilakukan secara tergesa, sangat riskan memunculkan
kepala daerah karbitan yang hanya popular tapi belum teruji kualitas
kepemimpinannya dalam mengelola dan mengembangkan suatu wilayah.
Munculnya Jokowi, Presiden
RI ketujuh, tak bisa dilepaskan dari perhelatan demokrasi lokal di tanah air.
Jokowi adalah pemimpin hasil dari ajang demokrasi lokal di Solo
(Pilwalkot 2015 dan 2010) dan DKI Jakarta (Pilgub 2012). Dari segi manajerial
dan terobosan program, mungkin Jokowi sudah bagus. Tapi dari segi kepemimpinan
belum menunjukkan kelasnya dalam mengendalikan problem kenegaraan dan
kebangsaan yang terlanjur kompleks.
Dari sisi kualitas proses, harapan terutama tertuju pada
KPU beserta jajarannya di provinsi dan kabupaten/kota. Pengalaman sukses
menyelenggarakan Pileg dan Pilpres, menjadi bekal yang baik untuk melaksanakan
setiap tahapan Pilkada sesuai amanat regulasi. Dari sisi kualitas hasil,
harapan pertama teruju pada parpol dan perseorangan peserta Pilkada. Harapan
kedua, tertuju pada pemilih, semoga kali ini mereka tidak salah menentukan
pemimpin daerahnya.
Di tengah badai pragmatisme politik dan kompleksitas
problem kenegaraan, sejatinya sungguh berat mempertaruhkan kualitas demokrasi
lokal. Tapi kita harus optimis sebagai bangsa besar mampu menunjukkan pada
dunia internasional, bahwa demokrasi lokal dan hasilnya berjalan baik dan
membawa kemajuan bagi daerah-daerah di Indonesia.
*Marwanto, S.Sos - Anggota KPU Kabupaten Kulon Progo*
*tulisan ini dimuat di harian Bernas Jogja dan www.rumahpemilu.org pada 28 Mei 2015*